Ahli: Aturan Penetapan Tersangka Multitafsir
Ahli lain menyatakan penentuan status seseorang menjadi
tersangka oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti merupakan tindakan
sewenang-wenang dan bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Ahli: Aturan Penetapan Tersangka Multitafsir Gedung MK.
Foto: RES
Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani menilai
rumusan Pasal 1 angka 2 KUHAP terdapat dua hal yang yang dapat dilakukan
penyidik yakni mengumpulkan bukti dan menemukan tersangkanya. Hal itu untuk
memisahkan antara kewenangan “mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi” dan kewenanangan
“menemukan tersangkanya”
“Adanya kata ‘dan’
dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP untuk memisahkan dua kewenangan itu,” kata Eva saat
dimintai pendapatnya sebagai ahli dalam sidang uji materi KUHAP yang dimohonkan
Bachtiar Abdul Fatah di ruang sidang MK, Senin (14/7).
Meski begitu, dia
mempertanyakan apa yang menjadi dasar penyidik untuk menemukan tersangkanya.
“Apakah proses menemukan tersangkanya bagian dari proses pengumpulan bukti.
Jadi, sesungguhnya rumusan pasal itu menjadi multi tafsir,” kata Eva.
Menurut dia, penentuan seseorang untuk ditetapkan sebagai
tersangka harus dilakukan sehati-hati mungkin. Penentuan status tersangka harus
didasarkan sebagai kesimpulan dari bukti-bukti yang dikumpulkan sebelumnya.
Karenanya, rumusan pasal itu harus dibaca menjadi :
“Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan berdasarkan bukti-bukti
itu pula ditentukan tersangkanya.”
Menyangkut Pasal 1
angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) KUHAP terkait proses penetapan tersangka
atas dasar bukti permulaan yang cukup. Demikian pula pelaksanaan upaya paksa
lain seperti penangkapan dan penangkapan yang rentan terjadinya pelanggaran hak
konstitusional.
“Dalam KUHAP sendiri
tidak ada batasan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup.
Dalam praktiknya, terdapat perbedaan memaknai pengertian bukti permulaan yang
cukup itu,” kata ahli yang sengaja dihadirkan oleh pemohon ini.
Ahli pemohon lainnya, Dosen Pidana Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Chairul Huda menerangkan ketentuan penetapan tersangka, penangkapan,
dan penahanan dapat dilakukan jika terdapat bukti permulaan, bukti permulaan
yang cukup, dan bukti yang cukup menjadi ketentuan yang konstitusional.
“Perbedaannya
terletak pada perbedaan pengertian antara bukti permulaan, bukti, dan alat
bukti, bukan pada persyaratan minimal adanya hal itu,” kata Chairul.
Dijelaskan Chairul
penahanan dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan. Chairul melanjutkan penahanan akan menjadi
illegal jika penahanan dilakukan dalam hal untuk mencari dan mengumpulkan bukti
guna menemukan tersangka. “Penahanan bisa dilakukan setelah penyidik berhasil
menemukan dan menghimpun bukti yang kuat untuk menyatakan seseorang patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Sementara Dosen
Pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, M Arif Setiawan mengatakan
penentuan status seseorang menjadi tersangka oleh penyidik yang tidak
didasarkan bukti merupakan tindakan sewenang-wenang dan bentuk pelanggaran hak
konstitusional warga negara.
“Agar penyidikan
tidak lagi dipergunakan sebagai alat menempatkan orang sebagai tersangka
lantaran memang tidak seharusnya ada tersangka karena tidak adanya bukti, maka
menurut ahli frasa ‘dan guna menemukan tersangka‘ dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP
harus dimaknai sebagai ‘dan hanya berdasarkan bukti-bukti hasil penyidikan
tersebut untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya’,” saran Arif.
Sebelumnya, terdakwa
korupsi proyek bioremediasi Bachtiar Abdul Fatah mempersoalkan Pasal 1 angka 2
dan angka 14, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf
a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP terkait ketentuan penetapan seorang
sebagai tersangka dalam proses penyidikan. Padahal, proses penyidikan bukan
mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir.
Pemohon menilai pasal-pasal itu telah menimbulkan
ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip due process of law dan
melanggar hak atas kepastian hukum yang adil. Sebab, norma tersebut memberi
makna seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan.
Karenanya, bukti
permulaan yang cukup dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17, Pasal 21 ayat (1)
seharusnya dimaknai tidak terbatas alat bukti seperti diatur Pasal 184 KUHAP,
tetapi meliputi barang bukti dalam pembuktian universal atau physical
evidence/real evidence. Alat bukti tersebut seharusnya dimaknai penyidik telah
menemukan dua alat bukti secara kualitatif untuk menetapkan seseorang sebagai
tersangka.
Selain itu, Pasal 77
huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak
ditambahkan rumusan normanya sehingga menjadi berbunyi : “Pengadilan negeri
berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya penetapan tersangka,
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Untuk diketahui,
Bachtiar bersama-sama dengan Herland Bin Ompo selaku Direktur Utama PT Sumigita
Jaya didakwa melakukan tindak pidana korupsi proyek bioremediasi PT CPI di
Kecamatan Minas, Kabupaten Siak Provinsi Riau. Keduanya, telah menandatangani
kontrak bernomor C 905616 pada September 2011-Maret 2012 untuk menormalisasi
tanah yang tercemar limbah. Bachtiar selaku General Manager (GM) Sumatera Light
South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sendiri telah divonis 2 tahun
dan denda 200 juta rupiah subside 3 bulan kurungan.