Jumat, 06 April 2018


Ahli: Aturan Penetapan Tersangka Multitafsir
Ahli lain menyatakan penentuan status seseorang menjadi tersangka oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti merupakan tindakan sewenang-wenang dan bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Ahli: Aturan Penetapan Tersangka Multitafsir Gedung MK. Foto: RES
Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani menilai rumusan Pasal 1 angka 2 KUHAP terdapat dua hal yang yang dapat dilakukan penyidik yakni mengumpulkan bukti dan menemukan tersangkanya. Hal itu untuk memisahkan antara kewenangan “mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi” dan kewenanangan “menemukan tersangkanya” 
 “Adanya kata ‘dan’ dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP untuk memisahkan dua kewenangan itu,” kata Eva saat dimintai pendapatnya sebagai ahli dalam sidang uji materi KUHAP yang dimohonkan Bachtiar Abdul Fatah di ruang sidang MK, Senin (14/7).
 Meski begitu, dia mempertanyakan apa yang menjadi dasar penyidik untuk menemukan tersangkanya. “Apakah proses menemukan tersangkanya bagian dari proses pengumpulan bukti. Jadi, sesungguhnya rumusan pasal itu menjadi multi tafsir,” kata Eva.
Menurut dia, penentuan seseorang untuk ditetapkan sebagai tersangka harus dilakukan sehati-hati mungkin. Penentuan status tersangka harus didasarkan sebagai kesimpulan dari bukti-bukti yang dikumpulkan sebelumnya. Karenanya, rumusan pasal itu harus dibaca menjadi :
 “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan berdasarkan bukti-bukti itu pula ditentukan tersangkanya.”      
 Menyangkut Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) KUHAP terkait proses penetapan tersangka atas dasar bukti permulaan yang cukup. Demikian pula pelaksanaan upaya paksa lain seperti penangkapan dan penangkapan yang rentan terjadinya pelanggaran hak konstitusional. 
 “Dalam KUHAP sendiri tidak ada batasan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Dalam praktiknya, terdapat perbedaan memaknai pengertian bukti permulaan yang cukup itu,” kata ahli yang sengaja dihadirkan oleh pemohon ini.
Ahli pemohon lainnya, Dosen Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menerangkan ketentuan penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan dapat dilakukan jika terdapat bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup menjadi ketentuan yang konstitusional.
 “Perbedaannya terletak pada perbedaan pengertian antara bukti permulaan, bukti, dan alat bukti, bukan pada persyaratan minimal adanya hal itu,” kata Chairul.
 Dijelaskan Chairul penahanan dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Chairul melanjutkan penahanan akan menjadi illegal jika penahanan dilakukan dalam hal untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna menemukan tersangka. “Penahanan bisa dilakukan setelah penyidik berhasil menemukan dan menghimpun bukti yang kuat untuk menyatakan seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
 Sementara Dosen Pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, M Arif Setiawan mengatakan penentuan status seseorang menjadi tersangka oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti merupakan tindakan sewenang-wenang dan bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara.





 “Agar penyidikan tidak lagi dipergunakan sebagai alat menempatkan orang sebagai tersangka lantaran memang tidak seharusnya ada tersangka karena tidak adanya bukti, maka menurut ahli frasa ‘dan guna menemukan tersangka‘ dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP harus dimaknai sebagai ‘dan hanya berdasarkan bukti-bukti hasil penyidikan tersebut untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya’,” saran Arif.
 Sebelumnya, terdakwa korupsi proyek bioremediasi Bachtiar Abdul Fatah mempersoalkan Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP terkait ketentuan penetapan seorang sebagai tersangka dalam proses penyidikan. Padahal, proses penyidikan bukan mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir.
Pemohon menilai pasal-pasal itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip due process of law dan melanggar hak atas kepastian hukum yang adil. Sebab, norma tersebut memberi makna seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan.
 Karenanya, bukti permulaan yang cukup dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) seharusnya dimaknai tidak terbatas alat bukti seperti diatur Pasal 184 KUHAP, tetapi meliputi barang bukti dalam pembuktian universal atau physical evidence/real evidence. Alat bukti tersebut seharusnya dimaknai penyidik telah menemukan dua alat bukti secara kualitatif untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
 Selain itu, Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak ditambahkan rumusan normanya sehingga menjadi berbunyi : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai  dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:  sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

 Untuk diketahui, Bachtiar bersama-sama dengan Herland Bin Ompo selaku Direktur Utama PT Sumigita Jaya didakwa melakukan tindak pidana korupsi proyek bioremediasi PT CPI di Kecamatan Minas, Kabupaten Siak Provinsi Riau. Keduanya, telah menandatangani kontrak bernomor C 905616 pada September 2011-Maret 2012 untuk menormalisasi tanah yang tercemar limbah. Bachtiar selaku General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sendiri telah divonis 2 tahun dan denda 200 juta rupiah subside 3 bulan kurungan.